Yosefina Putri Mau Bili , Atambua , Universitas Timor – Masih gelap ketika lelaki tua itu mengangkat jaring dan menaruhnya ke atas bahu. Cahaya senter kecil menggantung di dahinya, satu-satunya penerang di tengah gulita pagi. Di belakangnya, istrinya berjalan pelan, membawa bekal nasi dan ikan asin dalam bungkusan daun pisang. Mereka bicara lirih agar anak-anak tak terbangun dari tidurnya.
Namanya Bapa Leman. Kulitnya legam, keriputnya dalam. Usianya mungkin sudah lebih dari setengah abad, tapi langkahnya di atas pasir tetap kokoh. Ia menantang gelombang setiap hari, bukan untuk kaya, tapi untuk sebuah mimpi yang tak pernah sempat ia raih sendiri—menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana.
Laut baginya bukan hanya sumber nafkah. Ia adalah sahabat gelap yang dipeluk setiap dini hari dan musuh terang yang membakar kulit saat matahari mulai meninggi. Jaring dan perahu tuanya sudah menjadi bagian dari tubuhnya. Sekali angin kencang datang, tak ada jaminan ia akan kembali. Tapi ia tetap pergi.
Di rumah, istrinya—Mama Yohana—selalu bangun lebih awal. Memasak nasi untuk suami dan anak-anak, meski kadang hanya cukup untuk tiga piring dan ia sendiri harus menahan lapar. Setelah itu, ia akan menjinjing ember penuh ikan hasil tangkapan suaminya kemarin, berjalan dari kampung ke kampung untuk menjajakannya.
Mama Yohana tak pernah protes meski uang belanja tak menentu. Ia tak kenal tas bermerek atau liburan mewah. Yang ia tahu hanya satu: memastikan anak-anaknya tidak tumbuh menjadi bagian dari rantai kemiskinan yang melilit generasi demi generasi di kampung nelayan itu.
Anaknya empat. Yang sulung sudah kuliah di kota. Yang bungsu baru duduk di bangku SD. Mereka tumbuh di antara bau amis ikan dan deru ombak, tapi di benak mereka tumbuh pula mimpi yang besar—mimpi menjadi guru, dokter, atau bahkan insinyur.
“Pokoknya anak-anak harus sekolah,” begitu kata Bapa Leman suatu sore sambil menambal perahunya yang bocor. “Kalau beta musti terus lawan badai, tidak papa. Yang penting anak-anak tidak ikut hanyut di dalamnya.”
Namun tidak semua keluarga nelayan seberuntung mereka. Banyak anak-anak lain yang akhirnya ikut melaut karena sekolah terasa jauh dan mahal. Tidak jarang, ibu-ibu pun harus turun ke laut demi memenuhi kebutuhan rumah. Pendidikan, bagi mereka, masih jadi kemewahan.
Tapi dari kerasnya kehidupan pesisir itu, lahir mimpi-mimpi besar. Mimpi yang dirajut dalam keringat, air mata, dan harapan. Bahwa satu hari nanti, anak-anak mereka bisa mengenakan toga dan berdiri di podium wisuda. Bukan untuk pamer, tapi sebagai bukti bahwa anak-anak kampung pun bisa berhasil.
“Kami tidak minta banyak,” kata Mama Yohana kepada seorang relawan pendidikan yang datang ke kampungnya. “Cukup beri anak-anak jalan dan kesempatan. Kami akan urus sisanya dengan tenaga dan doa.”
Tak semua orang paham kerasnya hidup di pinggir laut. Tapi bagi keluarga seperti Bapa Leman dan Mama Yohana, mereka tak butuh belas kasihan. Yang mereka perlukan adalah ruang untuk membuktikan bahwa mimpi anak-anak nelayan bukan omong kosong.
Dan setiap kali anaknya mengirim kabar dari kota—“Ma, saya dapat nilai bagus!” atau “Pa, saya lulus semester ini!”—air mata Bapa Leman menetes di atas jaringnya. Tangis bahagia yang diam-diam menyatu dengan asin laut dan lelah tubuh yang tak pernah ia keluhkan.
Karena baginya, tak ada badai yang terlalu besar untuk seorang ayah yang ingin anaknya menjadi sarjana.