Pembelajaran mendalam atau deep learning belakangan ini menjadi jargon utama dalam wacana pendidikan Indonesia, khususnya sejak hadirnya Kurikulum Merdeka. Konsepnya tidak main-main: siswa diharapkan tidak sekadar menghafal, tetapi mampu menghubungkan pengetahuan dengan kehidupan nyata, berpikir kritis, berkolaborasi, dan membangun karakter. Singkatnya, sekolah bukan lagi “pabrik nilai”, melainkan ruang pembentukan manusia pembelajar sepanjang hayat.
Namun, pertanyaan mendasar tetap menghantui: quo vadis pembelajaran mendalam—ke mana arah dan nasibnya—jika sarana pendukung, baik fisik maupun non fisik, masih jauh dari kata memadai?
Sarana Fisik: Infrastruktur yang Membatasi Lompatan
Dalam teori constructivism yang dikemukakan Piaget maupun Vygotsky, belajar bermakna lahir ketika siswa dapat bereksperimen, berinteraksi, dan mengaitkan konsep dengan pengalaman nyata. Artinya, deep learning membutuhkan ruang eksplorasi: laboratorium, perpustakaan yang kaya referensi, akses internet, serta ruang kelas yang kondusif.
Sayangnya, di banyak sekolah, kondisi itu masih jauh dari harapan. Laboratorium terbatas, buku perpustakaan usang, akses internet tersendat, bahkan ruang kelas masih berdesakan. Alhasil, guru kembali pada pola lama: ceramah, hafalan, dan latihan soal—praktik yang jelas bertentangan dengan semangat pembelajaran mendalam.
Sarana Non Fisik: Kualitas Guru dan Ekosistem Belajar
John Dewey sejak awal abad ke-20 menekankan bahwa pendidikan bukan hanya soal fasilitas, melainkan juga proses sosial. Guru berperan sebagai fasilitator yang merancang pengalaman belajar aktif, bukan sekadar “penyampai informasi”. Namun dalam praktiknya, kapasitas guru di lapangan sangat beragam. Ada yang adaptif dengan pendekatan proyek dan inkuiri, tetapi tak sedikit pula yang masih terjebak dalam “kultus ujian”.
Selain itu, kepemimpinan sekolah, konsistensi kebijakan pemerintah, serta pemahaman orang tua menjadi faktor penentu. Tanpa dukungan ekosistem non fisik ini, pembelajaran mendalam rawan berhenti pada jargon. Paulo Freire bahkan mengingatkan, pendidikan yang tidak melibatkan kesadaran kritis masyarakat hanya akan melanggengkan “banking education”—sekadar menabung informasi tanpa makna.
Jalan ke Depan: Investasi, Sinergi, dan Perubahan Paradigma Tanpa itu semua, pembelajaran mendalam akan tetap menjadi jargon manis di atas kertas. Ia digembar-gemborkan dalam seminar, dicantumkan dalam dokumen kurikulum, tetapi sulit menjejak dalam keseharian siswa. Pertanyaannya, apakah kita rela membiarkan hal itu terjadi, ataukah berani memastikan deep learning benar-benar hidup di ruang-ruang kelas kita?
Maka, pertanyaan quo vadis itu sejatinya menjadi ajakan reflektif. Pembelajaran mendalam hanya mungkin terwujud bila pemerintah, sekolah, dan masyarakat bergerak seirama. Investasi sarana fisik harus diimbangi dengan peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan berkelanjutan. Lebih dari itu, perubahan paradigma mutlak diperlukan: pendidikan tidak boleh lagi dipersempit menjadi soal nilai ujian, tetapi sebagai upaya menyiapkan generasi yang mampu belajar, beradaptasi, dan berkontribusi sepanjang hayat.
Penulis : Slamet Wakhyanto (SMAN Kelubagolit )